Minggu, 15 Mei 2011

Tuntutan Pharmaceutical Care dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

 Pharmaceutical Harus dan Penting Dilakukan !

Jika ditinjau dari UU perlindungan konsumen pharmaceutical care mutlak dilakukan karena konsumen sebagai pengguna barang dan jasa (khususnya obat dan pengobatan) memiliki hak mendapatkan pelayanan terbaik dan juga mendaptkan perlindungan dari hal-hal yang dapat merugikan pasien dalam hal ini contohnya medication error.

Dalam etika profesi farmasi, para farmasis mempunyai kewajiban untuk melindungi pasien dari kerugian akibat kecelakaan pemakaian obat yang merugikan. Pharmaceutical care adalah konsep yang melibatkan tanggung jawab farmasis yang dapat menjamin terapi optimal terhadap pasien secara individu sehingga pasien membaik dan kualitas hidupnya meningkat. Peran farmasis dalam pharmaceutical care di awal proses terapi adalah menilai kebutuhan pasien. Di tengah proses terapi, mereka memeriksa kembali semua informasi dan memilih solusi terbaik bagi DRP (Drug Related Problem) pasien. Di akhir proses terapi, mereka menilai hasil intervensi farmasis sehingga didapatkan hasil optimal dan kualitas hidup meningkat serta hasilnya memuaskan. Jika farmasis melaksanakan ini semua untuk kebutuhan pasien maka farmasis telah melindungi pasien sesuai UU perlindungan konsumen. 

 
Hal yang dapat dilakukan untuk menghindari medication error dengan pelayan kefarmasian(Pharmaceutical Care) terpadu sehingga pasien mendapat perlindungan konsumen, salah satunya yaitu melaksanakan program sesuai Rekomendasi ASHP (American Society Of Hospital Pharmacist).
Rekomendasi ASP untuk mencegah medication error yaitu
1.  Gunakan sistem formularium, Komite Farmasi dan Terapi, yang terdiri atas apoteker, dokter, perawat dan profesional ksehatan lainnya, yang bertanggung jawab terhadap kebijakan formulasi mengenai evaluasi, seleksi, dan penggunaan obat dalam terapi dalam lingkungan pelayanan ksehatan yang terorganisasi.
2.  Ketelitian dan pertimbangan dalam pemilihan dan penugasan personel yang terlibat dalam pemesanan obat, pembuatan, penyaluran, administrasi, dan pendidikan kepada penderita. Beberapa kbijakan dan prosedur harus dikembangkan untuk mjamin seleksi personel yang memadai, pelatihan, pengawasan, dan evaluasi.
3.   Tersedianya petugas yang dapat melakukan tugas dengan baik.
4.   Adanya lingkungan kerja yang cocok untuk peracikan obat.
5.   Kewenangan dan tgung jwb di RS dalam hal pmesanan, pbuatan obat harus didefinisikan dengan jelas.
6.  Program perbaikan kualitas yang sistematik dan sebanding harus dilaksanakan secara terus menerus agar tercapai penggunaan obat yang aman.
7.  Apoteker dan orang-orang yang terlibat dalam pemesanan obat harus mempunyai akses rutin agar dapat menyediakan informasi klinik tentang penderita (termasuk obat yang digunakan, alergi, dan profil hipersensitivitas, diagnosis, status kehamilan, dan hasil laboratorium) untuk membantu mengevaluasi kelayakan pemesanan obat.
8.  Apoteker harus menjaga profil pengobatan semua penderita, baik penderita rawat jalan maupun penderita rawat tinggal yang mendapat perawatan di RS. Profil itu harus mencakup informasi yang cukup agar dapat melakukan monitoring sejarah pengobatan, alergi, diagnosis, interaksi obat yang potensial, ADR, terapi obat ganda, data hasil laboratorium, dan informasi lainnya.
9.  IFRS bertanggung jawab dalam hal mendapatkan, mendistribusikan dan mengontrol semua obat yang digunakan dalam organisasi RS. Pelayanan kefarmasian sebaiknya 24 jam. Jika pelayanan 24 jam ini tidak dapat dilaksanakan, maka apoteker harus punya basis on call.
10.Manager farmasi, dengan bantuan Komite Farmasi Dan Terapi dan perawat, harus mengembangkan prosedur dan kebijakan yang komprehensif dalam hal penyediaan distribusi obat-obatan yang efisien dan aman kepada penderita. UNTUK amannya, metoda distribusi yang direkomendasikan dalam lingkungan pelayanan ksehatan RS is distribusi obat unit dosis dan sistem kontrol.
11. Kecuali dalam keadaan darurat, semua produk obat steril dan nonsteril dari IFRS harus diracik untuk penderita perorangan (for individual patients). Penyimpanan stok obat-obatan non emergency di ruang perawat dan di ruang perawatan penderita harus diminimalkan. Perhatian khusus harus diberikan pd obat-obatan yang dapat menimbulkan kesalahan pengobatan yang serius dan obat-obatan yang batas keamanannya (margin of safety) sempit. Semua cara penyimpanan obat harus diinspeksi secara rutin oleh personel IFRS untuk menjamin integritas produk yang baik serta pengemasan, pemberian label, dan penyimpanan yang tepat. Penting bahwa produk obat dan produk-produk lain yang digunakan untuk pemakaian luar disimpan secara terpisah dari produk obat untuk pemakaian dalam.
12. Direktur dan staf farmasi RS harus menjamin bahwa semua obat yang digunakan dalam lingkungan organisasi RS memiliki kualitas dan integritas yang tinggi, ini akan mencakup seperti :
·Pemilihan produk obat berdasarkan data bioavailabilitas obat yang baik serta
  pengemasan dan pelabelan produk yang baik
· Pemeliharaan inventaris produk-produk yang belum kadaluwarsa
· Mengikuti persyaratan kompendial.
13.   Penggunaan obat-obatan milik penderita di RS sepenuhnya harus dihindari. Penggunaan obat2 itu hanya dapat diizinkan jika obat itu dibutuhkan oleh penderita dalam terapinya, obat itu tidak tersedia di IFRS dan tidak ada terapi alternatif yang dapat dilakukan. Obat itu harus ditulis oleh dokter dalam catatan medis penderita. Sebelum digunakan, apoteker harus melakukan inspeksi dan identifikasi obat itu. Jika kemudian ada beberapa hal yang tidak dapat diputuskan berkaitan dengan integritas dan identitas obat itu, maka obat itu tidak dapat digunakan.
14. Dalam hal penghentian obat atau penderita sudah diperbolehkan pulang, obat2 yang dihentikan atau tidak lagi digunakan harus dikembalikan dengan segera ke IFRS. Penderita tidak boleh diberi obat2 yang tidak berlabel untuk dibawa pulang, kecuali kalau obat2 tu telah dilabeli oleh IFRS untuk digunakan oleh penderita yang dirawat di luar RS berdasarkan pd peraturan pemerintah. Penderita tersebut harus diberitahu tentang cara penggunaan obat-obatan tersebut.
15. Dianjurkan untuk melakukan komputerisasi dalam sistem pelayanan IFRS agar dapat mengecek secara otomatis tentang dosis, terapi berganda, alergi, interaksi obat, dan aspek-aspek lainnya. Kalau memungkinkan, diusulkan untuk mgunakn inovasi-inovasi teknologi seperti kode sandi (bar coding) untuk membantu mengidentifikasi penderita, produk-produk, dan penyedia layanan perawatan.
16. Sumber informasi obat yang baik harus tersedia bagi semua tenaga ksehatan yang terlibat dalam proses penggunaan obat.
17. Standar waktu pemberian obat harus ditegakkan oleh RS melalui Komite Farmasi Dan Terapi, dengan masukan-masukan dari perawat dan IFRS. Prosedur dan kebijakan-kebijakan mengenai deviasi waktu standar juga harus tersedia jika diperlukan. Lebih jauh lagi, tabel yang memuat daftar konsentrasi standar obat dan dosis obat dapat dikembangkan untuk meminimalkan kebutuhan perhitungan dosis oleh staf medis.
18. Komite Farmasi Dan Terapi harus mengembangkan daftar singkatan-singkatan standar yang disetujui untuk digunakan dalam pemesanan obat.
19. Mekanisme review harus dilakukan melalui Komite Farmasi Dan Terapi khususnya bagi mereka yang bertanggung jawab dalam pengumpulan data dan laporan evaluasi kesalahan pengobatan. Grup review ini harus meneliti penyebab dari kesalahan-kesalahan dan mengembangkan program untuk menurunkan tjdnya kasus kesalahan. Grup review ini harus terdiri dari wakil-wakil farmasi, perawat, dokter, jaminan mutu, staf pendidikan, manajemen pengendalian resiko, dan legal councel.
20. IFRS, perawat, manajemen pengendalian resiko, dan staf medis harus mengadakan program pendidikan yang terus menerus untuk mendiskusikan kesalahan pengobatan, penyebabnya, dan metode untuk mencegah tjdnya kesalahan pengobatan. 


Farmasi Rumah Sakit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Apoteker No Service


No Farmasist No Eksis